Headlines News :
Home » » Memerdekakan Kembali Makna Pendidikan

Memerdekakan Kembali Makna Pendidikan

Written By Unknown on Monday, May 20, 2013 | 5:37 AM



Betulkah telah terjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan dewasa ini? Betulkah masyarakat mulai tidak percaya lagi terhadap keampuhan pendidikan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan bagi semua warga yang berpendidikan? Betulkah sistem pendidikan nasional ternyata tidak mampu mamandirikan para subjek didik, tetapi justru menciptakan ketergantungan pada orang lain, mengasingkan subjek didik dari lingkungan sosial, budaya alam sekitar serta akar kehidupannya? Apakah anak petani yang bersekolah bukan semakin bertambah kecintaannya terhadap profesi petani, tetapi justru benci dan antipasti terhadap pekerjaan bertani hingga memilih menjual tanahnya untuk membeli sepeda motor? Padahal, mereka makan sehari-hari dari hasil bertani. Ki Hadjar Dewantara secara senda gurau pernah menuliskan “Orang yang tidak sekolah bisa mencari makan dengan dengan menjual kacang goreng, berjualan sayur, dan bisa hidup dari hasil kerjanya itu. Tetapi, anak yang sekolah HIS (Sekolah Dasar di zaman Belanda) yang dianggap anak pandai, malah tidak bisa makan sendiri, kalau tidak menjadi kerani atau klerek, dan setelah sekolah MULO (SMP zaman Belanda) malah jadi tidak bisa mencari makan, tidak bisa jual kacang goreng, malu bekerja kasar. Dengan membawa ijazah diplomanya yang bagus, berkeliling memasuki kantor-kantor mencari pekerjaan. Dan jadilah pengangguran bila Ia tidak mendapat pekerjaan di kantor.” Bila hal tersebut di atas memang telah terjadi pada dunia pendidikan kita, adalah hal terbijaksana bila kita secara bersama-sama mau mengamati apa yang telah terjadi pada dunia pendidikan nasional yang kita cintai ini. Atau apakah dengan kurikulum 2013 yang segera diluncurkan akan menjawab dari segala tantangan seperti yang diutarakan Ki Hadjar Dewantara di atas. Sebab ada sebuah istilah baru yang diciptakan dalam kurikulum terbaru ini. Istilah ‘Peminatan’ dengan menggantikan istilah penjurusan diharapkan bukan hanya sekadar ganti baju belaka, kita berharap ada perubahan yang lebih mendasar pada istilah terbaru ini. Akan tetapi, sekadar gambaran dan anggaplah secara bergurau pula, patut juga kita berkomentar tentang gambaran kurikulum baru yang telah memuat istilah baru itu. Adakah perbedaan mendasar pada konsep penjurusan dan peminatan. Bila istilah peminatan lahir dilatarbelakangi atas konsep kurikulum SMA/MA yang terancang untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik belajar berdasarkan minat mereka. Lalu, struktur kurikulum akan memperkenalkan peserta didik untuk melakukan pilihan dalam bentuk pilihan kelompok peminatan, pilihan lintas minat, dan/atau pilihan pendalaman minat. Untuk selanjutnya, kelompok peminatan terdiri atas peminatan matematika sains, peminatan sosial, dan peminatan bahasa. Lalu dimanakah letak pemaknaannya dengan istilah penjurusan. Bukankah sebelum kurikulum 2013 ini kita juga mengenal penjurusan IPS, IPA, dan Bahasa. Kebingungan akan berlanjut dengan melihat adanya mata pelajaran wajib kelompok A yang memuat mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Sebab pertanyaan yang akan muncul adalah apakah dalam pendidikan agama tidak mengandung unsur budi pekerti. Atau haruskah pelajaran agama harus terdikatomi dengan budi pekerti. Terlihat sepele memang? Akan tetapi, kiranya kebingungan-kebingungan itulah yang patut untuk disosialisasikan lebih lanjut dan mendalam kepada semua pendidik. Mensosialisasikan permasalahan itu penting sebab, kita pastinya tidak ingin ketika sebagian dari pendidik ketika masih dalam tahap mencoba, masih dalam tahap mulai memahami kurikulum seperti kurikulum KTSP, tiba-tiba saja belum sempurna atas semua pemahaman tersebut tiba-tiba mencul lagi kurikulum yang baru. Adalah sebuah keelokkan tersendiri sebelum lebih jauh kita membahas perubahan kurikulum baru, mari kita lihat dulu bagaimana gambaran sang pendidik sebagai ujung tombak sebuah pelaksanaan kurikulum. Berbicara hakikat antara pendidik dan perubahan mari kita awali dari sebuah pemahaman bahwa dunia, negara, dan masyarakat dimana para pendidik berpijak dan melangkahkan kaki sedang mengalami perubahan yang sangat cepat dan dahsyat. Giddens (2000) menyebutnya sebagai sebuah dunia yang lari tunggang langgang (runaway word). Lebih dari itu, kemajuan dan kecepatan teknologi informasi membuat dunia tidak lagi berjarak. Orang bisa berhadapan muka satu sama lain dan dapat bekerja sama dalam jarak dan waktu yang semakin dapat dimanfaatkan melalui kemajuan teknologi. Adalah hal logis dalam dunia yang datar orang dapat berlari lebih kencang sebab seolah tiada halangan menghadang. Dinamika kehidupan dalam masyarakat menjadi semakin terburu, tergesa dan saling bersaing. Logika kecepatan menjadai jargon. Siapa dapat mengerjakan sesuatu secara cepat dan tepat dia yang akan menguasai keadaan. Ironisnya, dari pemahaman sedemikian, dalam situasi dunia yang serba berlari ini, menjalani profesi sebagai pendidik melahirkan sebuah paradoks. Bagaimana tidak? Sementara dinamika masyarakat begitu cepat berputar. Ternyata. praktik harian dalam kinerja pendidik (guru) tidak berubah. Hingga adalah sebuah sebuah keniscayaan bahwa dalam dunia yang lari tunggang langgang dan senantiasa berubah, para pendidik juga semestinya dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan di dalam masyarakat. Akan tetapi, dalam kenyataannya perubahan inilah sesungguhnya awal dasar permasalahan di dunia pendidikan dimulai. Bagaimanapun harus disadari pula bahwa berubah memang tidak mudah. Namun untuk maju seringkali tidak semudah yang digambarkan atau diomongkan. Sebagai dan sebagian besar dari pendidik kadang merasa gamang untuk hal itu. Bukannya pendidik tidak mau, tetapi mungkin belum tahu bagaimana strateginya agar tetap memiliki keterbukaan terhadap perubahan hingga demikian menjadi individu yang selalu up to date dan relevans. Dengan penegasan yang lebih meyakinkan sesungguhnya para pendidik adalah orang-orang yang tentu saja mau dan ingin sekali berubah, mereka adalah orang-orang yang sebenarnya ingin menjadikan siswa didiknya menjadi orang yang bermartabat, berpenghasilan bahkan kalau perlu berkedudukan. Bukan sekadar dan sebatas memberikan angka-angka pada berbagai macam ulangan atau ujian. Oleh karena itu, tantangan yang telah diberikan oleh Ki Hadjar Dewantara patut untuk kita renungkan bersama. Jika perubahan kurikulum adalah sebuah jawaban! Mari kita tunggu lima atau sepuluh tahun mendatang. () *) Guru Man 2 Model Banjarmasin

sumber : http://www.radarbanjarmasin.co.id

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. KUBA_WARRIOR™ - All Rights Reserved
Template didesain ulang rajahimbe